Hijau-dan-Kuning-Emas-Illustratif-Modern-Twibbon-Selamat-Hari-Raya-Idul-Fit-20240403-122004-0000

IMG-20240426-080646

FALCONRY & KONSERVASI

IMG-20240409-WA0076

Falconry

Falconry sejatinya adalah olahraga berburu menggunakan burung pemangsa. Tetapi tidak semua burung pemangsa dapat digunakan dalam kegiatan ini. Burung yang dapat digunakan adalah pemburu aktif (bukan scavanger), agresif dan memiliki kemampuan terbang yang baik dalam mengejar mangsanya. Seperti Goshawk misalnya. Dan beberapa spesies Alap-alap dan Elang. Pemilihan jenis burung juga akan bergantung kepada mangsa yang tersedia. Seringnya yang digunakan adalah burung natif yang memang secara alami cocok dengan jenis mangsa di suatu habitat.

IMG-20240227-124711

Banyak negara di dunia yang memiliki tradisi falconry dan masih menjalankannya hingga kini. Beberapa negara Eropa, Amerika bahkan Asia. Indonesia sendiri tidak memiliki sejarah dengan tradisi ini di masa lampau. Walaupun kini teknik falconry dalam melatih burung juga diadaptasi dan digunakan untuk kepentingan komersil atau edukasi di beberapa lembaga konservasi di Indonesia. Seperti Bird Show misalnya. Di negara-negara yang menjalankan falconry, Mereka punya aturan ketat soal falconry yang pastinya berkaitan dengan konservasi.

Salah satu olahraga tertua di dunia ini, tercatat berkembang di Eropa sekitar abad VII. Saat suku-suku di Jerman mulai berburu menggunakan burung pemangsa. Lebih dari dua abad kemudian, tradisi ini menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Britania Raya (Sumber : Falconry I, A Survey Course for the Novice Falconer. Karya K.R. Vetoyer). Menurut catatan UNESCO sendiri, berdasarkan bukti sejarah yang ditemukan di Timur Tengah, Falconry telah dipraktikan lebih dari 4000 tahun lalu.

Konservasi dan Pemanfaatan dalam konservasi

Konservasi adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya. Bagi saya sendiri, konservasi adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan manusia yang hasilnya adalah terjaganya kelestarian sumber daya alam, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disadari atau tidak disadari.

Sementara makna lestari menurut KBBI adalah “Tetap seperti keadaan semula; bertahan”. Dan menurut Saya, kelestarian alam adalah kondisi di mana ekosistem alam masih bekerja secara seimbang dengan berbagai macam komponen yang tetap bertahan atau terjaga keberadaannya. Di mana populasi satwa dan tumbuhan natif tetap seimbang, dan komponen tak hidup sebagai bagian dari ekosistem tidak rusak dan tercemar meskipun manusia melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya alam. Sedangkan suatu spesies dikatakan lestari adalah ketika populasinya di alam tetap seimbang. Sehingga mampu menjalankan fungsi ekologis seperti seharusnya. Maka menurut Saya, sebesar apapun populasi suatu spesies dalam captivity tidak dapat dikatakan lestari ketika populasinya di alam kurang dari yang seharusnya.

Dalam konservasi tidak berarti manusia tidak boleh memanfaatkan alam. Karena sejatinya alam diperuntukan untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Hanya saja, pemanfaatan yang dijalankan haruslah pemanfaatan yang lestari. Pemanfaatan yang tetap mempertimbangkan keberlangsungan setiap aspek dan komponen alami dalam ekosistem. Sehingga pemanfaatannya bisa tetap dilakukan secara berkesinambungan.

Konservasi dalam falconry

Falconry adalah salah satu kegiatan yang memanfaatkan satwa liar sebagai suatu komponen utama. Yaitu burung pemangsa yang biasanya disebut raptor. Di beberapa negara, dewasa ini sudah menerapkan aturan bahwa hanya raptor hasil penangkaran yang boleh dimanfaatkan untuk kegiatan falconry. Karena umumnya mereka telah berhasil menjalankan penangkaran atau pengembangbiakan secara ex-situ. Tujuannya adalah agar tidak lagi mengambil raptor dari populasi alami. Sehingga populasi alami tetap terjaga.

Sebagian negara lain masih melegalkan pengambilan individu alami dari alam. Tetapi tetap memiliki aturan tegas soal itu. Yang diperbolehkan untuk diambil hanyalah individu remaja mandiri (Juvenile), yang nantinya harus dikembalikan ke alam. Agar tetap bisa berkontribusi bagi alam dengan menjalankan fungsi ekologisnya dan mampu menemukan pasangan dan berkembangbiak di alam dan meregenerasi populasinya. Dilarang mengambil burung dewasa (usia kawin) agar tidak mengganggu peluangnya untuk berkembang biak. Dilarang mengambil bayi dari alam (kecuali dengan kondisi tertentu yang disahkan secara hukum) karena akan menghasilkan human imprinted bird dan tidak layak untuk dirilis kembali ke alam. Dengan ketentuan tersebut kelestarian raptor akan tetap terjaga meskipun pemanfaatan dilakukan terhadap individu alami.

Meskipun hukum yang mengatur kegiatan falconry di tiap-tiap negara akan berbeda, namun pada dasarnya, terlepas dari hukum di tiap-tiap negara tersebut, falconry memiliki etika dasar yang sejalan dengan nilai-nilai konservasi. Ada batasan-batasan dalam etika falconry yang menjadikan pemanfaatan dalam falconry adalah pemanfaatan yang lestari. Salah satunya adalah bahwa falconer harus berusaha keras untuk menjaga kelestarian burung pemangsa natif di alam (Sumber : Falconry I, A Survey Course for the Novice Falconer. Karya K.R. Vetoyer). Contoh lainnya adalah tidak merilis human imprinted (malimprinted) birds ke alam (sumber : Falconry, Care, Captive Breeding and Conservation. Karya Jemimma Parry-Jones). Bahkan menurut Patrick Morel, Imprinting sendiri bertentangan dengan etika falconry. Karena human imprinted birds tidak layak untuk dirilis kembali ke alam.

Ketidaklayakan ini sendiri mencakup banyak hal. Sebagai spesies altricial, Burung pemangsa yang dibesarkan oleh manusia (Human Imprinted) mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengenali spesiesnya sendiri hingga ketidakmampuan untuk menemukan pasangan seksual yang pantas untuknya. Hal ini disebabkan karena burung pemangsa yang dibesarkan oleh manusia akan menganggap manusia yang membesarkannya sebagai induk. Menganggap dirinya adalah spesies yang sama dengan manusia dan kemudian akan menganggap manusia sebagai pasangan sexualnya (Sumber : Understanding the Bird of Prey. Karya Nick Fox).

Selain itu, fokus kelestarian dalam falconry tidak hanya terbatas pada kelestarian burung pemangsa saja. Tapi juga pada kelestarian seluruh ekosistem. Agar habitat dan mangsa alami bagi burung pemangsa tetap lestari. Kerusakan habitat tidak hanya berpengaruh buruk bagi kehidupan liar. Tapi juga akan berpengaruh buruk bagi kegiatan falconry (Sumber : Falconry Basics, a handbook for beginners. Karya Tony Hall).

Dengan adanya etika-etika dalam falconry yang diatur sedemikian rupa, maka pemanfaatan dalam falconry, secara umum sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai konservasi. Justru, sekali lagi Saya katakan, sejalan dengan nilai-nilai konservasi. Yaitu pemanfaatan yang lestari. Yang mempertimbangkan serta mengupayakan keberlangsungan populasi alami. Sehingga pemanfaatan dapat terus dilakukan secara berkesinambungan dan tetap menjaga keseimbangan ekosistem.

Peran lain falconry dalam konservasi adalah sebagai salah satu metode rehabilitasi yang cukup efektif bagi raptor-raptor yang harus mendapat perawatan dan dipersiapkan untuk dirilis kembali ke alam. Metode falconry bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan berburu bagi raptor dengan cara melatih dan membiasakan burung untuk terbang dan berburu secara rutin. Di mana kegiatan tersebut dilakukan di alam nyata dengan pilihan mangsa yang alami yang diperoleh secara alami. Sehingga ketika burung benar-benar dirilis ke alam liar, burung sudah akan terbiasa dengan kondisi seperti seharusnya.

Semua hal di atas, membuktikan bahwa falconry berperan besar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konservasi. Sehingga seorang falconer sejati adalah juga seorang konservator. Yang menjalankan nilai-nilai konservasi dalam hidupnya.

Citra buruk falconry dan faktanya

Banyak pihak menganggap falconry sebagai penyebab menurunnya populasi burung pemangsa di beberapa wilyah. Termasuk Indonesia dan beberapa negara lainnya. Hal ini tidak lepas dari kegiatan segelintir orang, dalam jumlah besar, yang mengatasnamakan falconry tetapi melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan falconry. Menjarah sarang-sarang alami mengambil bayi raptor kemudian merawatnya hingga besar tanpa dasar ilmu yang jelas. Sehingga tiap-tiap burung yang diambil menjadi human imprinted (malimprinted). Yang seperti Saya bahas di atas, tidak layak untuk dirilis. Tidak pandang bulu, jenis apa yang diambil. Setiap bayi burung pemangsa akan diambil untuk dipelihara. Dan semua itu mengatasnamakan falconry.

Dengan contoh-contoh tersebut terlihat di permukaan dan mengatasnamakan falconry, pandangan kebanyakan orang yang tidak paham bagaimana falconry sesunggunya, akan menjadi bias. Dan mengganggap bahwa falconry adalah hal buruk bagi konservasi. Sehingga berdampak terhadap seni ini secara keseluruhan. Jika dibiarkan, hal ini akan merusak citra falconry. Sehingga perlu adanya upaya dari falconer untuk menunjukan bahwa falconry tidak bertentangan dengan konservasi. Bahwa falconry adalah bagian dari konservasi. Seperti yang seharusnya.

Jemimma Parry-Jones, penulis dan Direktur dari International Centre for Birds of Prey (Dulunya bernama the National Birds of Prey Centre/the Nbop Centre), menegaskan dalam bukunya yang berjudul Falconry, Care, Captive Breeding and Conservation bahwa tidak ada spesies raptor di dunia ini yang menjadi terancam karena kegiatan falconry (falconry yang benar). Jika melihat sejarah, bahwa di abad pertengahan, ketika raptor diambil dari alam liar. Tetapi tidak ada populasi spesies raptor yang menjadi terancam karenanya. Sampai akhirnya, setelah Perang Dunia II, muncul pestisida kimia sintetik dan penghancuran hutan-hutan tropis, dan mulai menimbulkan masalah serius bagi ekosistem secara keseluruhan.

Sebagai contoh. Menurunnya populasi Peregrine Falcon di Amerika Utara yang faktanya disebabkan oleh penggunaan pestisida (DDT/Diklorodifeniltrikloroetana), Justru, menurut Jemimma (hasil dari wawancaranya terhadap pengunjung the Nbop Centre), dianggap sebagai akibat buruk dari kegiatan falconry dan pengumpul telur oleh sebagian besar orang. Hal ini terutama disebabkan oleh propaganda media yang tidak akurat.

Dan fakta lainnya soal menurunnya populasi Peregrine Falcon akibat DDT adalah, bahwa peran falconer-lah (The Peregrine Fund) yang menerapkan captive breed dan metode parent reared terhadap Peregrine Falcon, lalu melakukan restocking, menjadikan populasi Peregrine Falcon menjadi kembali pulih dan dikeluarkan dari daftar satwa terancam di Amerika Serikat pada tahun 1999. Sosok dibalik kisah sukses itu Adalah Tom J. Cade (1928-2019). Seorang Falconer, Ornithologist, Mantan Direktur Laboratorium Ornitologi di Universitas Cornell New York, sekaligus pendiri The Peregrine Fund. (Sumber : New York Times; 15 Feb 2019)

Sungguh ironis sebenarnya bahwa falconry yang nyatanya menjunjung nilai-nilai konservasi harus mendapat citra buruk karena tidak bertanggungjwabnya segelintir orang yang mengatasnamakan falconry untuk kegiatan merusak yang mereka lakukan. Biasnya penilaian banyak pihak juga disebabkan karena segelintir orang yang tidak bertanggung jawab tadi ternyata meniru secara tidak tepat sedikit dari teknik melatih burung pemangsa yang diterapkan dalam falconry. Hal ini, bagi sebagian orang yang tidak memahami falconry, terlihat sangat mirip dengan kegiatan falconry. Tanpa melihat lebih dalam dan membandingkan dengan falconry yang sesungguhnya.

Medan, 14 Januari 2023
Penulis : May Reza Fadhillah, S. Kom
Editor : Mhd. Bolot Iswanto, M. Pd.
I

IMG-20240310-WA0073

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *