Kisah Korban KDRT: Sering Dipukul, Anak Dicabul, Mertua Ngatur (Bagian I)

Terdakwa Johan Wijaya
IMG-20240310-164257

Medan, TRIBRATA TV

Namanya singkat, Happy berusia 32 tahun tinggal di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Namun hidupnya tak sehappy namanya. Sejak pacaran hingga diusir dari rumah, ia terus-terusan mengalami kekerasan dari suaminya, Johan Wijaya (35). Bahkan anak sulungnya JW (5) dicabuli Johan sejak berusia 2,5 tahun.

IMG-20240227-124711

Sambil berlinang air mata, Happy menceritakan kisah hidupnya, Sabtu (26/12/20). Tepat dua tahun lalu, 26 Desember 2018, ia mengadukan Johan Wijaya ke Polres Sergai. Empat laporan yang diadukan, KDRT, perusakan rumah, penganiayaan dan pencabulan.

Namun hanya dua laporan yang berjalan hingga pengadilan, kasus penganiayaan yang melibatkan mertuanya, Jefri dan Chan Goek Oen. Walau terbukti keduanya menganiaya Happy hingga harus dirawat 4 hari di rumah sakit, namun keduanya hanya dihukum 2 bulan tanpa harus masuk sel.

Sementara pengaduan balik mereka tidak terbukti sehingga Happy bebas murni.

Sedangkan kasus pencabulan berjalan sangat lamban. Padahal JW sudah divisum di RS Sultan Sulaiman dan mendapatkan pendampingan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) . JW juga harus menjalani terapi pemulihan psikologi di Minauli Consulting Medan.

“Hingga hari ini, saya dan JW masih harus terapi,” kata Happy.

Beberapa waktu lalu, Irna Minauli sempat menceritakan kondisi JW. “Korban mengalami trauma berat dan kemarahan yang terpendam. Ia belum bisa menceritakannya secara verbal namun dari gambar yang dibuatnya, menunjukan hal itu,” kata psikolog senior ini.

Kasus pencabulan ini kemudian ditarik dari Polres Sergai oleh Polda Sumut setelah sejumlah lembaga pemerhati anak dan perempuan Sumut, LPSK termasuk Dinas PPPA Sumut mendesak pihak kepolisian. Unit PPA Polda berjalan cepat, namun kemudian sempat beberapa kali berkasnya dipulangkan Kejaksaan Tinggi Sumut. “Dua kali P-19,” kata Happy.

Atas inisiatif lembaga anak dan perempuan serta Dinas PPPA Sumut, mereka menemui Aspidum (Asisten Pidana Umum) Kejati Sumut. Dalam pertemuan itu akhirnya pihak kejaksaan menerima berkas perkara dan melimpahkannya ke Kejaksaan Negeri Sei Rampah.

“Kendati ancaman hukumannya diatas 15 tahun ditambah sepertiga karena pelakunya adalah orangtua kandung, namun Johan tidak pernah ditahan,” kata Happy lagi.

Persidangan perkara ini mulai bergulir Nopember 2020 dengan Hakim Ketua Febriani, Hakim Anggota, Ferdian Permadi dan Sisilia Dian. Namun ada yang janggal dalam persidangan tertutup ini. Korban JW dikonfrontir langsung dengan Johan dalam satu ruangan. JW sempat ketakutan saat Johan membantah keterangannya dengan nada tinggi.

“Korban yang sebelumnya mulai agak membaik kondisi psikologinya, kembali mengalami trauma. Jangankan dibentak pelaku, melihat wajahnya saja korban sudah takut,” kata psikolog Irna yang juga menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara ini bersama dokter dari RS Sultan Sulaiman.

Yang disayangkan Happy, dari sekian bukti-bukti termasuk hasil visum yang menyatakan kemaluan korban mengalami luka akibat benda tumpul, jaksa hanya menuntut Johan 9 tahun penjara.

“Harusnya jaksa bisa menuntut maksimal, karena pelakunya adalah orang dekat, orang yang harus melindungi. Jaksa tidak berperspektif kepentingan anak,” ujar Nurlela, Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) Sumut beberapa waktu lalu.

Happy sangat berharap majelis hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku. Apalagi ia melihat dua hakim persidangan perkara ini adalah perempuan yang memiliki naluri keibuan. “Bayangkan kalau ini terjadi pada anak mereka,bagaimana perasaannya,” tandas Happy.

Happy mengaku memang sejak pacaran dengan Johan ia sudah sering dipukul. Tiga tahun pacaran ia dipukul Johan setiap kali bertengkar. “Tiga kali kami putus, tapi Johan dan mamanya terus meluluhkan hati saya. Padahal saya pacaran tidak direstui mama saya,” kata Happy.

Chan Goek Oen bahkan menjamin jika Johan berlaku kasar lagi ke Happy, akan ia marahi.

Sejak saat itu Happy dan Johan kembali bersama sampai tahun 2013 mereka sepakat buka apotik, dengan modal bersama. “Demi buka apotik saya meninggalkan pekerjaan yang setiap bulannya mendapat gaji dan bonus Rp15-20 juta. Saya rela tinggalkan pekerjaan itu berharap akan mendapatkan kehidupan lebih baik lagi,” kata Happy.

Pada saat buka apotik Johan masih bekerja menjadi sales dengan gaji kurang dari Rp3 juta, sedang Happy mengurus apotik. Hingga enam bulan kemudian Happy minta Johan berhenti bekerja karena apotik mulai ramai sehingga butuh tenaga selain Happy dan seorang karyawan.

Tak lama kemudian Happy dan Johan menikah. Seluruh pendapatan apotik masuk ke rekening Johan. Padahal perjanjian awal, masing-masing ambil Rp3 juta perbulan yang dianggap sebagai gaji.

Sejak saat itu apa yang diangankannya dalam berumahtangga tak terjadi. Happy justru seperti pembantu yang tak digaji.

Setiap bulan Johan memakai uang apotik buat dirinya sendiri dan selalu dikirim ke mertuanya mulai dari Rp1,5 juta hingga  Rp4 juta perbulan. Happy tidak boleh pakai uang di laci. Jika Happy beli sayur untuk masak dijatah untuk makan 1 hari hanya Rp30.000. Namun jika Chan Guek Oen dan Jeffri telepon minta uang Rp10 juta -Rp50 juta, Johan selalu cepat-cepat mentransfer.

“Setiap menit Johan selalu hitung uang laci jika kurang 1.000 perak saja saya sudah di maki-maki, saya kasih pengemis yang lewat 2.000 perak saja saya dimaki-maki,” ujarnya.

Bangunan apotik yang mereka tempati adalah warisan dari kakek Johan yang sudah mereka beli dari Jeffri, orangtua Johan seharga Rp600 juta. Rumah itu sudah dibalik nama atas nama Johan Wijaya pada tahun 2016. Walau sudah dimiliki namun Jeffri tetap meminta uang sewa Rp4 juta sebulan, walaupun perjanjiannya mereka membayar sewa Rp35 juta per lima tahun.

Proses pembelian pun terpaksa, karena begitu melihat usaha apotik berkembang, Jeffri minta agar rumah itu dibeli kalau tidak akan segera dijual ke orang lain. “Kami pun terpaksa membeli kalau tidak akan diusir,” tandas Happy.

Namun setelah membeli rumah itu, sertifikat asli ditahan Jeffri dan Chan Guek Oen. “Saya tidak tau apa alasan mereka berbuat begitu pada anaknya,” ujarnya. (red) bersambung

IMG-20240310-WA0073

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *