Jelang HUT RI Ke-74, Warga Gunung Melayu Belum Merasa Merdeka

IMG-20240409-WA0076

Asahan, TRIBRATA TV
Kurang dari 2 pekan, rakyat Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74 tahun. Seluruh rakyat akan bersukacita menyambutnya, dengan melaksanakan berbagai kegiatan.

Namun sepertinya hal itu tidak dirasakan 30 Kepala Keluarga di Dusun III Bukit Kijang Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning Kabupaten Asahan.

IMG-20240227-124711

Pasalnya, sejak puluhan tahun lalu, hampir 50 tahun silam hingga kini, warga sama sekali tidak pernah menikmati listrik yang berasal dari jaringan PLN, tak lain perusahaan milik bangsa sendiri.

Ditemui wartawan, Senin (5/8/2019) siang, Kepala Desa Gunung Melayu, Syaiful Amri mengisahkan, aliran listrik untuk penerangan pertama kali baru bisa dinikmati warga pada tahun 2010 lalu.

Itu pun, menurut Syaiful, bukan dari PLN, melainkan dari mesin genset berkapasitas besar melalui program PNPM yang dapat mengalirkan listrik ke rumah – rumah warga saat itu.

Sayang, meski memakan biaya cukup besar untuk pengoperasiannya, sekitar 25 liter per hari, pada tahun 2012, mesin berdaya listrik kapasitas besar itu tak bisa lagi difungsikan.

“Tahun 2010 ada pengadaan mesin genset bantuan PNPM, sejak saat itu listrik bisa masuk ke rumah-rumah warga. Setiap hari habiskan solar 25 liter, swadaya dari masyarakat. Beberapa kali rusak, diperbaiki, sampai tahun 2012 rusak total,” ucap Syaiful.

Diakuinya, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah desa bersama masyarakat agar jaringan listrik milik PLN bisa masuk ke Dusun III Bukit Kijang. Terlebih satu-satunya akses untuk bisa menuju ke permukiman warga tersebut harus melintasi perkebunan sawit milik PT Lonsum yang berada di Kecamatan Gunung Melayu.

“Sebelum saya menjabat sebagai kades, pemerintah desa dan masyarakat sudah pernah juga mengajukan ke pihak PLN, pemerintah (Pemkab) dan DPRD (Asahan), sampai saya menjabat sebagai kades selama 2,5 tahun terakhir. Kami selalu mengawal dan memfasilitasi pertemuan mulai dari kecamatan hingga kabupaten,” ungkap Syaiful.

Untuk kembali merasakan penerangan, lanjut Syaiful, praktis masing – masing warga berinisiatif membeli mesin genset secara pribadi. Itupun hanya dioperasikan jelang sore hingga pukul 22.00 WIB, sisanya penerangan ala kadarnya, dengan alasan keterbatasan biaya untuk membeli solar.

“Selama ini masyarakat bergantung dengan mesin genset, rata – rata dioperasikan empat jam. Sebulan bisa makan biaya hampir Rp 500 ribu untuk beli solar aja,” timpal Parmin, seorang warga saat mendampingi Syaiful pada wartawan. (Gon)

IMG-20240310-WA0073

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *