Hukum  

Dibantah Johan, Happy: Bisakah Hasil Visum Direkayasa?

IMG-20240409-WA0076

Medan, TRIBRATA TV

Johan Wijaya, terdakwa kasus pencabulan anak kandung di Pengadilan Sei Rampah menyampaikan bantahannya melalui youtube. Ia membantah melakukan pencabulan. Ia justru menuduh istrinya, Happy merekayasa kasus ini.

IMG-20240227-124711

Menanggapi hal ini, Happy mengatakan ia hanya ibu rumah tangga biasa yang memiliki mimpi hidup berkeluarga dengan baik dan tenang. “Saya tidak punya kemampuan untuk merekayasa bukti-bukti, apalagi visum dokter,”kata Happy, Minggu (14/2/2021).

Menurutnya, pencabulan itu baru diketahuinya sebulan setelah ia dan anak-anak diusir Johan Wijaya dan mertuanya. Semula ia tak percaya, namun putrinya yang saat itu berusia 4,3 tahun dengan kalimat-kalimat terpatah-patah menceritakan apa yang dialaminya. Bahasanya pun bercampur Indonesia dan Hokien.

“Saya heran anak saya ngomong papi jahat, papi jahat. Setelah diyakinkan kita tidak akan kembali ke apotik, baru mau dia cerita,” kata Happy.

Happy dan ibunya kemudian mem’flasback’ kembali ingatan mereka. Happy paham betul bagaimana perilaku Johan yang sangat gemar nonton film porno. Ia juga teringat bagaimana tidak ada satupun pembantu yang tahan bekerja dengan mereka. Sayangnya semua rekaman cctv di rumah mereka dirusak Johan.

“Setelah yakin, kami laporkan pencabulan itu dan kemudian putri saya divisum di RS Sultan Sulaiman, Sei Rampah. Dokternya pun sudah memberi kesaksian di pengadilan, kalau ga benar tuntut itu dokter,” jelasnya.

Hasil visum menunjukan ada luka lama dan berulang-ulang di kemaluan putrinya. Semula ia sangat berharap hasilnya tidak apa-apa. Namun begitu tahu, nyawanya seakan melayang.

“Habis semua airmata saya mendengar hasil visum, tubuh ini rasanya sudah tak bertulang, lemas. Betapa teganya ia berbuat itu pada putri kandungnya sendiri. Cukup saya yang merasakan penderitaan hidup dengannya. Namun ia telah merusak masa depan anaknya sendiri. Biadab,” kata Happy.

Laporan pencabulan ini berjalan sangat lamban di Polres Serdang Bedagai. Setelah hampir dua tahun akhirnya kasus ini ditarik ke Polda Sumut.

Selama itu pula, putrinya harus menjalani terapi psikologi di Minauli Konsulting, sebuah biro psikolog ternama di Kota Medan.

“Ibu Irna Minauli yang langsung menangani terapi anak saya. Menurutnya, putri saya mengalami trauma berat dan harus diterapi terus menerus,” ujarnya.

Beruntung saat itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membantu membiayai perobatan psikologi putri Happy. Memang sejak diusir, Happy dan anak-anaknya harus menumpang hidup dengan ibunya.

Ia diusir hanya dengan baju yang melekat dibadan, setelah sebelumnya terpaksa dirawat di rumah sakit di Lubuk Pakam karena dianiaya oleh kedua mertua dan abang iparnya. Untuk kasus ini kedua mertua dan abang iparnya telah dijatuhi vonis 1 bulan oleh PN Sei Rampah karena terbukti mengeroyok dan aniaya.

“Ibu Irna juga sudah memberikan kesaksiannya di pengadilan, bagaimana putri saya trauma akibat perbuatan Johan. Bagaimana mungkin bisa saya merekayasa ini?,” kata Happy lagi.

Menurutnya, hasil visum dan pemeriksaan ahli psikolog harusnya sudah menjadi bukti betapa bejatnya Johan Wijaya.

Ia juga meyayangkan PN Sei Rampah yang tidak ramah anak. Walaupun peradilannya tertutup namun saat korban ditanya hakim, terdakwa hanya berjarak 1 meter dari korban.

“Bagaimana mungkin anak usia 5 tahun berani berhadapan dengan orang yang mencabulinya? Jangankan dibentak, dipelototi saja pasti takut anaknya ngomong,” tandas Happy.

Dalam bantahannya Johan juga mengatakan pernah dilaporkan Happy ke Polres Sergai atas KDRT. “Ya benar saya dipukulnya, namun dimediasi oleh polres sehingga saya cabut laporan. Tapi begitu sampai dirumah saya dipaksa mendatangani pernyataan laporan itu tidak benar oleh mertua,” jelasnya.

“Saya mau tandatangani itu karena ancaman mertua dan Johan, kalau tidak mau, saya tidak boleh bertemu anak dan diceraikan,” kata Happy.

Diakuinya saat dirawat dirumah sakit setelah dianiaya dan diusir ia menchat Johan. Ia masih berharap Johan memikirkan nasib anak-anaknya.

“Saya yang membangun bisnis apotik, makanya nama apotiknya Happy, perjanjian awal sebelum menikah kami masing-masing menerima Rp3 juta perbulan, anggap saja sebagai gaji. Tapi begitu menikah semua diambil Johan. Bahkan untuk beli susu anak dan belanja untuk makan saya harus mengemis pada Johan,” tandasnya.

Bertahun-tahun Happy menahankan hal itu karena masih berharap Johan akan membuat hidupnya bahagia. Ia pun tak mempersoalkan ketika rumah yang mereka beli diatasnama Johan.

Hingga 6 bulan menikah, Johan masih bekerja sebagai sales. Sementara Happy membangun bisnis apotik yang terus berkembang dan membutuhkan tambahan tenaga. Akhirnya Johan berhenti dan membantu Happy bersama seorang pegawai lainnya.

Di Kota Perbaungan, Apotik Happy sempat dikenal dan ramai pembeli saat masih ditangani Happy.

“Jadi wajar kalau saya meminta hak saya. Saya tahu berapa banyak uang di bank, saya tahu uang saya dipakai Johan kemana saja, tapi sebagai istri saya nurut saja karena berfikir ini untuk kepentingan keluarga juga,” tandasnya. (Edrin)

IMG-20240310-WA0073

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *