IMG-20240409-WA0045

Hakikat Hak Angket Anggota DPR Dalam Sistem Pemerintahan

IMG-20240409-WA0076

HAKIKAT HAK ANGKET ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN

Oleh: Willy Sidauruk SH (Pemerhati Hukum Kota Siantar)

IMG-20240227-124711

Hak angket merupakan hak Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, maka dalam perkembangannya hak angket dapat digunakan untuk kepentingan golongan politik.

Permasalahannya bagaimana kedudukan hak angket dan akibat hukum penerapan hak angket. Dengan kajian penelitian hukum normatif dapat disimpulkan bahwa hak angket merupakan hak konstitusional dan akibat hukum yaitu pemerintah (eksekutif) wajib untuk melaksanakan hasil hak angket.

Sebagai saran yaitu penerapan hak angket yang termaktub dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Proses Penerapan Hak Angket Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Hak angket minimal diusulkan 5 (lima) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang dan minimal diusulkan 7 (tujuh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang beranggotakan diatas 35 (tiga puluh lima) orang.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota melakukan rapat terkait dengan usul hak angket. Dalam rapat hak angket minimal dihadiri oleh 3/4 (tiga per empat) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dari jumlah keseluruhan.

Untuk menjadi hak angket minimal disetujui 2/3(dua per tiga) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang hadir.

Selanjutnya apabila disetujui maka dibentuk panitia angket.

Akibat Hukum Dari Penerapan Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 383; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5650) termaktub:
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak Dewan Perwakilan
Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.”

Alasan yang berkembang dimakzulkannya Walikota Pematangsiantar adalah :
Pengangkatan dan pergantian ASN di Pemerintah Kota Pematangsiantar mencakup pengangkatan lurah yang tidak sesuai disiplin ilmunya, dan masih banyaknya Plt di setiap OPD. Pemberhentian dari jabatan atas nama Dr. Rumondang sebagai BP2KB dan pergantian pejabat setingkat Eselon III di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Pencopotan Sekda Siantar yang menuai kontroversi dan masih dalam proses gugatan di PTUN Medan. Hasil Assesmen JPT Pratama di lingkungan Pemko tidak dilakukan sepenuhnya dan pelelangan hasil jabatan pratama tahun 2019 tidak dilakukan.

Tidak ditampungnya penghasilan pegawai yang telah mendapat persetujuan DPRD sesuai dengan surat ketentuan DPRD Kota Pematangsiantar No: 170/2492/ DPRD/XII/2019 tentang rekomendasi DPRD perihal peningkatan kesejahteraan tenaga pejabat fungsional bidang kesehatan.
Terjadinya OTT di bidang pengelolaan keuangan daerah yang mengorbankan Kepala BPKD Kota Pematangsiantar yang sampai saat ini masih dalam proses pengadilan.

Penggunaan Lapangan Haji Adam Malik dan Lokasi GOR yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah No: 5 Tahun 1989.

Kesewenang-wenangan pemindahan lokasi pembangunan Tugu Sang Naualuh Damanik yang diputuskan di Lapangan Merdeka, dipindahkan secara pihak oleh Walikota di Lapangan H. Adam Malik, sehingga membuat keresahan kepada masyarakat dan saat ini telah menjadi temuan BPK.

Bobroknya pengelolaan 2 Perusahaan Daerah yaitu PD PAUS dan PD PHJ, hal ini bertentangan dengan PP 54 tahun 2017 tentang BUMD.

Terbitnya Peraturan Walikota No: 1 Tahun 2018 tentang pergesaran anggaran sebesar Rp46 miliar dimana P-APBD untuk Perda TA. 2018 tidak ditetapkan sehingga menjadi temuan BPK.

Anggaran untuk pembebasan lahan Tanjung Pinggir (573 HA) yang ditampung di P-APBD TA 2019 dihapuskan oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar dan Anggaran tersebut tidak ditampung di APBD TA 2020. Padahal DPRD Kota Pematangsiantar setiap tahun anggaran selalu meminta merekomendasikan agar anggaran pembebasan lahan tersebut ditampung.

Dari Point – Point 1 – 10 di atas jelas menurut analisa Kami pengertian dari hak angket dengan terdapatnya frasa ’berdampak luas’’ mempunyai batasan pengertian yang berdampak untuk masyarakat umum bukan kelompok, dan kami menilai dari point – point tersebut di atas tidak relevan sehingga DPRD memaksa harus melakukan Hak angket karena ada instansi Yang lebih efisien untuk menindaklanjuti point – point tersebut.

Kerangka Konseptual
Impeachment pemakzulan secara historis berasal dari abad ke 14 di Inggris, Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang sangat powerful memiliki kekuatan penuh yang terkait dalam kasus korupsi atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa.

Jadi artikel impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment.

Encyclopedia Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik yang dilakukan oleh lembaga legislatif (a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body) Pengertian ini seringkali kurang dipahami sehingga seolah-olah impeachment identik dengan pemberhentian. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban.

Impeachment berasal dari bahasa Inggris yaitu “to impeach” Dalam kamus bahasa Inggris maupun kamus kamus hukum “to impeach” artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungannya dengan kedudukan kepala negara atau kepala pemerintahan impeachment berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan.

Kami berpendapat, bahwa ada kesalahpahaman dimasyarakat termasuk di kalangan DPRD sendiri yang menganggap DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Seharusnya pemerintah daerah dan DPRD tidak boleh berposisi diametral atau saling berhadap hadapan. Sebagai unsur pemerintah daerah DPRD tidak boleh mengusulkan atau membuat keputusan untuk memberhentikan impeachment kepala daerah ketika dianggap ada penyimpangan dalam pembuatan kebijakan.

Namun DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakilnya jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan undang undang, diantaranya, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut turut selama enam bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar larangan bagi kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.

Dalam hal kepala daerah dan atau wakilnya dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban maka pemberhentian kepala daerah dan atau wakilnya tersebut diusulkan oleh DPRD melalui Rapat Paripurna dalam bentuk pernyataan pendapat.

Hal ini dengan ketentuan Rapat Paripurna DPRD tersebut dihadiri oleh sekurang kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota Dewan dan putusan diambil dengan persetujuan minimal dua pertiga dari jumlah anggota Dewan yang hadir.

Langkah selanjutnya DPRD meminta kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa mengadili dan memutuskan persoalan yang diajukan tersebut paling lambat tiga puluh hari setelah permintaan Dewan diterima MA. Apabila MA memutuskan bahwa kepala daerah dan atau wakilnya terbukti melanggar sumpah janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban maka Dewan kembali menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota Dewan dan putusan diambil dengan persetujuan minimal dua pertiga dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah kepada Presiden.

Tiga puluh hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut, langkah berikutnya DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah kepada Presiden, berdasarkan putusan MA atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan atau wakilnya dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban Untuk itu Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan atau wakilnya paling lambat tiga puluh hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.

Selain itu kepala daerah dan atau wakil kepala daerah juga dapat diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pemberhentian ini bisa terjadi jika kepala daerah dan atau wakilnya didakwa melakukan tindak pidana korupsi tindak pidana terorisme makar dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Dengan demikian proses pemakzulan kepala daerah berkaitan erat dengan dina mika kepentingan politik atas sebuah jabatan dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kewenangan yang telah diberikan oleh konstitusi.

Dalam kerangka ini diperlukan adanya mekanisme checks and balances system, sistem pengawasan dan keseimbangan di antara lembaga lembaga negara tersebut agar tidak ada lembaga yang lebih powerful memiliki kekuatan lebih dari yang lain.

KESIMPULAN
Bahwa dari deskripsi proses pemakzulan Wali kota Pematangsiantar dapat disimpulkan bahwa tindakan DPRD Kota Pematangsiantar tidak bisa dibenarkan menurut undang-undang, sebab undang-undang tidak mengatur impeachment pemakzulan terbadap kepala daerah oleh DPRD, meskipun undang-undang menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi pengawasan di samping fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Selain itu undang undang juga menyebutkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan kata lain sebenarnya DPRD tidak memiliki fungsi pengawasan sebagaimana yang dimiliki oleh DPR Rl sebab DPRD merupakan bagian dari pemerintahan daerah.

IMG-20240310-WA0073

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *